Faktor-faktor yang mempengaruhi konstipasi adalah asupan
serat, asupan air, aktivitas fisik, stres dan perubahan aktivitas rutin,
riwayat konstipasi terdahulu, konstipasi berulang, obat-obatan, faktor
fisiologis (Firmansyah, 2012), dan
posisi defekasi (Sakakibara dkk., 2010).
Kolon
berfungsi menyimpan dan megeringkan tinja cair yang diterimanya dari ileum.
Kandungan nutrisi tinja cair dari ileum yang masuk ke kolon akan menentukan
frekuensi dan konsistensi tinja. Kurangnya asupan serat sebagai kerangka tinja,
kurang minum dan meningkatnya kehilangan cairan merupakan faktor penyebab
konstipasi. Berat tinja berkaitan dengan asupan serat makanan. Tinja yang besar akan dievakuasi lebih sering.
Waktu singgah melalui saluran pencernaan lebih cepat bila mengkonsumsi banyak
serat. Waktu singgah pada bayi berusia 1-3 bulan adalah 8,5 jam. Waktu singgah
meningkat dengan bertambah usia, dan pada dewasa berkisar antara 30-48 jam.
Berkurangnya aktivitas fisik pada individu yang sebelumnya aktif merupakan
predisposisi konstipasi, misalnya pada keadaan sakit, pacabedah, kecelakaan
atau gaya hidup bermalas-malasan. Stres dan perubahan aktivitas rutin
sehari-hari dapat mengubah frekuensi defekasi, seperti liburan, berkemah, masuk
sekolah kembali setelah liburan, ketersedian toilet dan masalah psikososial,
dapat menyebabkan konstipasi (Firmansyah, 2012).
Penyebab
tersering konstipasi pada anak adalah menahan defekasi akibat pengalaman nyeri
pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura ani. Pengalaman nyeri
berhajat ini dipercaya menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat defekasi.
Kebiasaan menahan tinja (retensi tinja) yang berulang akan meregangkan rektum
dan kemudian kolon sigmoid yang menampung bolus tinja berikutnya. Tinja yang
berada di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan
membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja
yang keras dan besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus,
menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan
terus berlangsung: tinja keras-nyeri waktu berhajat-retensi tinja-tinja makin
banyak-tinja makin keras dan makin besar-nyeri waktu berhajat dan seterusnya
(Firmansyah, 2012).
Bila
konstipasi menjadi kronis, massa tinja berada di rektum, kolon sigmoid, dan
kolon desenden dan bahkan di seluruh kolon. Distensi tinja kronis sebagai
akibat retensi tinja menyebabkan menurunnya kemampuan sensor terhadap volume
tinja, yang sebetulnya merupakan rangsangan untuk berhajat. Temuan terbanyak
pada pemeriksaan manometri anak dengan konstipasi kronis adalah meningkatnya
ambang rangsang sensasi rektum. Dengan pengobatan panjang, sensasi rektum dapat
menjadi normal kembali. Namun pada sebagian kasus yang sembuh, sensasi rektum
tetap abnormal dan hal ini menjelaskan mengapa konstipasi mudah kambuh
(Firmansyah, 2012).
Obat-obatan
yang dapat menyebabkan konstipasi diantaranya adalah antiemetik, calcium
channel blockers, suplemen besi, analgetik non-opioid dan opioid,
antikolinergik (seperti: antikejang, antidepresan, obat antiparkinson,
antispasmodics), kemoterapi sitotoksik (seperti: agen antisitotoksik, agen
alkaloid vinca). Gangguan metabolik, gangguan bentuk panggul, gangguan
neuuromuskular, gangguan endokrin, gangguan anorektal, dan gangguan kolorektal
adalah kondisi fisiologis yang dapat mempengaruhi kejadian konstipasi
(Richmond, 2006).
Posisi
duduk saat defekasi juga dilaporkan dapat mempengaruhi kejadian konstipasi.
Pada posisi duduk, sudut antara anus dan rektum menjadi tidak cukup lurus
sehingga membutuhkan tenaga mengedan yang cukup kuat. Akibat semakin kuat tenaga mengedan yang dibutuhkan,
lama-kelamaan dapat menimbulkan kerusakan pada daerah rektoanal yang dapat
menimbulkan konstipasi dan hemorroid (Tanjung, 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar