Kamis, 10 September 2015

Faktor Risiko Konstipasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi konstipasi adalah asupan serat, asupan air, aktivitas fisik, stres dan perubahan aktivitas rutin, riwayat konstipasi terdahulu, konstipasi berulang, obat-obatan, faktor fisiologis (Firmansyah, 2012),  dan posisi defekasi (Sakakibara dkk., 2010). 

Kolon berfungsi menyimpan dan megeringkan tinja cair yang diterimanya dari ileum. Kandungan nutrisi tinja cair dari ileum yang masuk ke kolon akan menentukan frekuensi dan konsistensi tinja. Kurangnya asupan serat sebagai kerangka tinja, kurang minum dan meningkatnya kehilangan cairan merupakan faktor penyebab konstipasi. Berat tinja berkaitan dengan asupan serat makanan. Tinja  yang besar akan dievakuasi lebih sering. Waktu singgah melalui saluran pencernaan lebih cepat bila mengkonsumsi banyak serat. Waktu singgah pada bayi berusia 1-3 bulan adalah 8,5 jam. Waktu singgah meningkat dengan bertambah usia, dan pada dewasa berkisar antara 30-48 jam. 

Berkurangnya aktivitas fisik pada individu yang sebelumnya aktif merupakan predisposisi konstipasi, misalnya pada keadaan sakit, pacabedah, kecelakaan atau gaya hidup bermalas-malasan. Stres dan perubahan aktivitas rutin sehari-hari dapat mengubah frekuensi defekasi, seperti liburan, berkemah, masuk sekolah kembali setelah liburan, ketersedian toilet dan masalah psikososial, dapat menyebabkan konstipasi (Firmansyah, 2012).  

Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah menahan defekasi akibat pengalaman nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura ani. Pengalaman nyeri berhajat ini dipercaya menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat defekasi. Kebiasaan menahan tinja (retensi tinja) yang berulang akan meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid yang menampung bolus tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus, menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan terus berlangsung: tinja keras-nyeri waktu berhajat-retensi tinja-tinja makin banyak-tinja makin keras dan makin besar-nyeri waktu berhajat dan seterusnya (Firmansyah, 2012). 

Bila konstipasi menjadi kronis, massa tinja berada di rektum, kolon sigmoid, dan kolon desenden dan bahkan di seluruh kolon. Distensi tinja kronis sebagai akibat retensi tinja menyebabkan menurunnya kemampuan sensor terhadap volume tinja, yang sebetulnya merupakan rangsangan untuk berhajat. Temuan terbanyak pada pemeriksaan manometri anak dengan konstipasi kronis adalah meningkatnya ambang rangsang sensasi rektum. Dengan pengobatan panjang, sensasi rektum dapat menjadi normal kembali. Namun pada sebagian kasus yang sembuh, sensasi rektum tetap abnormal dan hal ini menjelaskan mengapa konstipasi mudah kambuh (Firmansyah, 2012). 

Obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi diantaranya adalah antiemetik, calcium channel blockers, suplemen besi, analgetik non-opioid dan opioid, antikolinergik (seperti: antikejang, antidepresan, obat antiparkinson, antispasmodics), kemoterapi sitotoksik (seperti: agen antisitotoksik, agen alkaloid vinca). Gangguan metabolik, gangguan bentuk panggul, gangguan neuuromuskular, gangguan endokrin, gangguan anorektal, dan gangguan kolorektal adalah kondisi fisiologis yang dapat mempengaruhi kejadian konstipasi (Richmond, 2006). 

Posisi duduk saat defekasi juga dilaporkan dapat mempengaruhi kejadian konstipasi. Pada posisi duduk, sudut antara anus dan rektum menjadi tidak cukup lurus sehingga membutuhkan tenaga mengedan yang cukup kuat. Akibat  semakin kuat tenaga mengedan yang dibutuhkan, lama-kelamaan dapat menimbulkan kerusakan pada daerah rektoanal yang dapat menimbulkan konstipasi dan hemorroid (Tanjung, 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar