Minggu, 06 September 2015

Public Health Education (Pendidkan Kesehatan Masyarakat)



Berbicara tentang dunia kedokteran dan kesehatan maka yang ada dalam benak kita adalah tindakan pengobatan berbagai penyakit oleh dokter dan perawatan oleh paramedis. Pemikiran ini bukan hanya ada pada orang awam tetapi masih juga terjadi pada orang medis dan paramedis. Padahal secara statistik tindakan seperti itu hanya berkisar 20% dari total suatu penduduk, sisanya 80% adalah penduduk yang tidak memerlukan tindakan pengobatan untuk masalah yang mereka hadapi atau mereka tidak menyadari bahwa mereka memiliki masalah kesehatan sehingga tidak mencari pertolongan medis. Sehingga 80% penduduk yang tidak diperhatikan oleh kalangan medis ini menjalani hidup yang tidak sehat dan suatu ketika akan masuk dalam 20% penduduk yang butuh tindakan pengobatan. Jadi, sehat menurut WHO (yaitu sehat jasmani, sehat mental, kesejahteraan sosial, dan sehat spiritual) harus tetap menjadi acuan dunia kedokteran dan kesehatan dan terus dijaga sehingga  80% penduduk yang tidak butuh tindakan pengobatan ini tidak masuk ke 20% penduduk yang membutuhkan.

Di Indonesia, yang terjadi adalah pengutamaan tindakan pengobatan dibandingkan menjaga penduduk agar tetap sehat. Hal ini dibuktikan dengan maraknya program pengobatan gratis baik yang dikelola secara nasional maupun program pengobatan gratis yang dikelola oleh daerah tetapi program-program untuk menjaga kesehatan masyarakat ini tidak didukung dengan program peningkatan hidup sehat di masyarakat, sehingga tenaga medis juga berkutat untuk melayani masyarakat yang membutuhkan  tindakan pengobatan tanpa terpikir mencegah masyarakat membutuhkan tindakan pengobatan padahal biaya tindakan pengobatan ini jauh lebih besar dibandingkan biaya yang dibutuhkan untuk program-program penjagaan kesehatan masyarakat.

Bukti lain Indonesia masih berkutat hanya pada tindakan pengobatan adalah angka kematian ibu dalam proses melahirkan tetap tinggi dan tidak pernah mencapai target setelah 15 tahun MDGs (Millennium Development Goals) dijalankan. Padahal Indonesia memiliki sumber daya manusia yang terus meningkat secara kuntitas untuk meningkatkan kesehatan ibu. Indonesia memiliki sekitar 75 fakultas kedokteran yang meluluskan ribuan dokter setiap tahunnya, sekitar 15 fakultas kedokteran tersebut memiliki program spesialis I ilmu kandungan yang meluluskan ratusan dokter spesialis kandungan setiap tahun, dan ribuan sekolah tinggi kebidanan yang meluluskan ribuan bidan yang siap melayani kebutuhan ibu-ibu dalam masa kehamilan dan kelahiran. Jumlah tenaga medis dan paramedis yang meningkat setiap tahun ini tentu secara matematis akan meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan angka kematian ibu dalam proses melahirkan. Tetapi yang terjadi malah terbalik dari hitungan matematis angka kematian ibu tetap tinggi dan tidak pernah mencapai target MDGs. Lalu siapa yang harus disalahkan dengan hal seperti ini. Banyak yang menyalahkan tenaga medis yang tidak kompeten dalam menangani saat persalinan, atau sarana prasarana yang tidak memadai untuk melayani persalinan secara optimal, bahkan masih menyalahkan masyarakat karena kepercayaan masyarakat terhadap dukun masih tinggi. Padahal tenaga medis sudah bertahun-tahun mempelajari cara persalinan yang aman, fasilitas kesehatan juga sudah lebih baik dibandingkan era sebelum MDGs diberlakukan, dan pengetahuan masyarakat sudah lebih maju sehingga kepercayaan terhadap orang-orang bukan ahli medis terus berkurang untuk melakukan intervensi medis terhadap mereka. Ternyata setelah dilakukan penelitian yang lebih mendalam penyebab paling banyak kematian ibu saat proses melahirkan adalah perdarahan, perdarahan ini menyebabkan anemia. Lalu mengapa mudah sekali terjadi anemia pada ibu yang melahirkan, ini terjadi karena nutrisi yang kurang dan kekurangan nutrisi ini terjadi jauh sebelum ibu tersebut akan melahirakan. Kekurangan nutrisi ini terjadi pada masa remaja, banyak anak remaja ingin tampil cantik dan langsing tanpa menghiraukan asupan nutrisi yang cukup untuk mempersiapkan diri dimasa yang akan datang. Siapa yang bertanggung jawab terhadap nutrisi ini, tentu semua tenaga medis yang mengerti akan gizi remaja dan pembuat kebijakan kesehatan yang harus menelurkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kesehatan masyarakat termasuk kesehatan reproduksi dan gizi remaja.

Jadi tidak tepat jika menyalahkan tenaga medis yang berkutat pada tindakan pengobatan (kuratif) saja terhadap masalah ini. Indonesia butuh kebijikan-kebijakan dan orang-orang yang siap meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan mereka sehingga mereka tidak termasuk 20% penduduk yang butuh intervensi medis. Mutu kesehatan masyarakat akan meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan mereka tentang kesehatan sehingga definisi sehat akan tercapai jika mereka tahu definisi sehat tersebut. Pengetahuan masyarakat tentang definisi sehat akan tecapai jika pemanggu kebijakan dan orang-orang medis memiliki pengetahuan tentang pendidikan kesehatan masyarakat atau lebih dikenal dengan Public Health Education.  Sehinga pelayanan kesehatan yang besifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif akan dijalankan sesuai dengan proporsinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar