Berbicara
tentang dunia kedokteran dan kesehatan maka yang ada dalam benak kita adalah
tindakan pengobatan berbagai penyakit oleh dokter dan perawatan oleh paramedis.
Pemikiran ini bukan hanya ada pada orang awam tetapi masih juga terjadi pada
orang medis dan paramedis. Padahal secara statistik tindakan seperti itu hanya
berkisar 20% dari total suatu penduduk, sisanya 80% adalah penduduk yang tidak
memerlukan tindakan pengobatan untuk masalah yang mereka hadapi atau mereka
tidak menyadari bahwa mereka memiliki masalah kesehatan sehingga tidak mencari
pertolongan medis. Sehingga 80% penduduk yang tidak diperhatikan oleh kalangan
medis ini menjalani hidup yang tidak sehat dan suatu ketika akan masuk dalam
20% penduduk yang butuh tindakan pengobatan. Jadi, sehat menurut WHO (yaitu
sehat jasmani, sehat mental, kesejahteraan sosial, dan sehat spiritual) harus
tetap menjadi acuan dunia kedokteran dan kesehatan dan terus dijaga
sehingga 80% penduduk yang tidak butuh tindakan
pengobatan ini tidak masuk ke 20% penduduk yang membutuhkan.
Di
Indonesia, yang terjadi adalah pengutamaan tindakan pengobatan dibandingkan
menjaga penduduk agar tetap sehat. Hal ini dibuktikan dengan maraknya program
pengobatan gratis baik yang dikelola secara nasional maupun program pengobatan
gratis yang dikelola oleh daerah tetapi program-program untuk menjaga kesehatan
masyarakat ini tidak didukung dengan program peningkatan hidup sehat di
masyarakat, sehingga tenaga medis juga berkutat untuk melayani masyarakat yang
membutuhkan tindakan pengobatan tanpa
terpikir mencegah masyarakat membutuhkan tindakan pengobatan padahal biaya tindakan
pengobatan ini jauh lebih besar dibandingkan biaya yang dibutuhkan untuk
program-program penjagaan kesehatan masyarakat.
Bukti
lain Indonesia masih berkutat hanya pada tindakan pengobatan adalah angka
kematian ibu dalam proses melahirkan tetap tinggi dan tidak pernah mencapai
target setelah 15 tahun MDGs (Millennium
Development Goals) dijalankan. Padahal Indonesia memiliki sumber daya
manusia yang terus meningkat secara kuntitas untuk meningkatkan kesehatan ibu.
Indonesia memiliki sekitar 75 fakultas kedokteran yang meluluskan ribuan dokter
setiap tahunnya, sekitar 15 fakultas kedokteran tersebut memiliki program
spesialis I ilmu kandungan yang meluluskan ratusan dokter spesialis kandungan
setiap tahun, dan ribuan sekolah tinggi kebidanan yang meluluskan ribuan bidan
yang siap melayani kebutuhan ibu-ibu dalam masa kehamilan dan kelahiran. Jumlah
tenaga medis dan paramedis yang meningkat setiap tahun ini tentu secara
matematis akan meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan angka kematian ibu
dalam proses melahirkan. Tetapi yang terjadi malah terbalik dari hitungan
matematis angka kematian ibu tetap tinggi dan tidak pernah mencapai target MDGs.
Lalu siapa yang harus disalahkan dengan hal seperti ini. Banyak yang
menyalahkan tenaga medis yang tidak kompeten dalam menangani saat persalinan,
atau sarana prasarana yang tidak memadai untuk melayani persalinan secara
optimal, bahkan masih menyalahkan masyarakat karena kepercayaan masyarakat
terhadap dukun masih tinggi. Padahal tenaga medis sudah bertahun-tahun mempelajari
cara persalinan yang aman, fasilitas kesehatan juga sudah lebih baik
dibandingkan era sebelum MDGs diberlakukan, dan pengetahuan masyarakat sudah
lebih maju sehingga kepercayaan terhadap orang-orang bukan ahli medis terus
berkurang untuk melakukan intervensi medis terhadap mereka. Ternyata setelah
dilakukan penelitian yang lebih mendalam penyebab paling banyak kematian ibu
saat proses melahirkan adalah perdarahan, perdarahan ini menyebabkan anemia.
Lalu mengapa mudah sekali terjadi anemia pada ibu yang melahirkan, ini terjadi
karena nutrisi yang kurang dan kekurangan nutrisi ini terjadi jauh sebelum ibu
tersebut akan melahirakan. Kekurangan nutrisi ini terjadi pada masa remaja,
banyak anak remaja ingin tampil cantik dan langsing tanpa menghiraukan asupan
nutrisi yang cukup untuk mempersiapkan diri dimasa yang akan datang. Siapa yang
bertanggung jawab terhadap nutrisi ini, tentu semua tenaga medis yang mengerti
akan gizi remaja dan pembuat kebijakan kesehatan yang harus menelurkan
kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kesehatan masyarakat termasuk kesehatan
reproduksi dan gizi remaja.
Jadi
tidak tepat jika menyalahkan tenaga medis yang berkutat pada tindakan
pengobatan (kuratif) saja terhadap masalah ini. Indonesia butuh
kebijikan-kebijakan dan orang-orang yang siap meningkatkan pengetahuan
masyarakat terhadap kesehatan mereka sehingga mereka tidak termasuk 20%
penduduk yang butuh intervensi medis. Mutu kesehatan masyarakat akan meningkat
seiring dengan meningkatnya pengetahuan mereka tentang kesehatan sehingga
definisi sehat akan tercapai jika mereka tahu definisi sehat tersebut.
Pengetahuan masyarakat tentang definisi sehat akan tecapai jika pemanggu
kebijakan dan orang-orang medis memiliki pengetahuan tentang pendidikan
kesehatan masyarakat atau lebih dikenal dengan Public Health Education. Sehinga
pelayanan kesehatan yang besifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
akan dijalankan sesuai dengan proporsinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar