Defekasi atau buang
air besar (BAB) merupakan proses evakuasi tinja dari dalam rektum, yaitu bahan
yang tidak digunakan lagi dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh (Tehutery,
Hegar dan Firmansyah, 2001). Pola defekasi merupakan salah satu indikator
kesehatan anak. Pola defekasi meliputi
frekuensi defekasi, konsistensi feses, dan warna feses. Pola defekasi terbentuk
dan berubah sesuai dengan bertambahnya usia anak karena kematangan saluran
cerna dan perubahan pola makan (Salwan, Kesumawati dan Bakri, 2010) .
Salah satu gangguan
pola defekasi yang dikhawatirkan orang
tua adalah konstipasi. Aspek-aspek yang menentukan konstipasi adalah frekuensi
defekasi jarang, konsistensi tinja yang keras, dan distress (Syarif dan
Endyarni, 2004). Batasan konstipasi
menurut The North American Society of Gastroenterology and Nutrition (NASPGHAN)
adalah keterlambatan atau kesulitan defekasi yang berlangsung selama dua pekan
atau lebih sehingga menyebabkan distress. Distress meliputi mengedan
pada saat defekasi, nyeri saat defekasi, defekasi berdarah, keciprit, dan
gerakan menahan defekasi pada penderita (Afzal, Tighe dan Thomson, 2011).
Berdasarkan
penyebab, konstipasi dibagi dua yaitu konstipasi fungsional dan konstipasi
organik. Konsipasi fungsional dikenal juga sebagai kebiasaan atau konstipasi
psikogenik (Berhman, Kliegman dan Arvin, 2000). Sebagian besar (90-95%)
konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional, hanya 5-10% yang
mempunyai penyebab organik (Firmansyah, 2012). Konstipasi fungsional dapat
didiagnosis dengan kriteria ROME III yaitu, defekasi 2 kali atau kurang setiap
minggu, riwayat susah defekasi atau nyeri saat defekasi, riwayat tinja dalam
diameter yang besar sehingga dapat menyumbat jamban, retensi tinja yang berlebihan,
teraba massa tinja yang berlebihan di rektum, keciprit sekurang-kurangnya satu
kali setiap minggu. Konstipasi didiagnosis jika memenuhi dua dari
kriteria-kriteria tersebut.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi konstipasi adalah asupan serat, asupan air, aktivitas fisik,
stres dan perubahan aktivitas rutin, riwayat konstipasi terdahulu, konstipasi
berulang, dan obat-obatan (Firmansyah, 2012). Kebiasaan
menggunakan jamban duduk dibandingkan dengan posisi jongkok dilaporkan juga
menjadi sumber masalah konstipasi. Posisi jongkok dianggap sebagai posisi
fisiologis dan alamiah yang dapat mendukung proses defekasi. Posisi
jongkok saat defekasi merupakan posisi tradisional masyarakat Asia (termasuk
Jepang, Korea, dan Cina) dan Afrika. Posisi duduk saat defekasi mulai
berkembang di negara barat pada saat revolusi industri dan perubahan ini juga
diikuti oleh negara-negara berkembang di Asia dan Afrika akhir-akhir ini (Sakakibara dkk., 2010). Sudut anorektal berperan dalam mempermudah
proses defekasi. Sudut anorektal pada posisi jongkok menjadi lebih lurus
dibanding posisi duduk sehingga mempermudah proses defekasi. Posisi jongkok
juga mengurangi periode waktu defekasi dan episode ketegangan pada proses
defekasi (Sakakibara dkk., 2010).
Perubahan
sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Indonesia juga berpengaruh terhadap
kebiasaan penggunaan jamban. Masyarakat Indonesia yang biasa menggunakan jamban
jongkok mulai berubah menggunakan jamban duduk. Penelitian terhadap 65 anak
umur 12-15 tahun di Medan melaporkan konstipasi fungsional lebih sering terjadi
pada anak yang menggunakan jamban duduk (12/20) dibanding anak yang menggunakan
jamban jongkok (4/45) (Tanjung dkk., 2013).
Lanjut baca di Konstipasi (2)
silakkan dinantikan jika belum saya publikasikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar