Selasa, 08 September 2015

Konstipasi (1)

Defekasi atau buang air besar (BAB) merupakan proses evakuasi tinja dari dalam rektum, yaitu bahan yang tidak digunakan lagi dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh (Tehutery, Hegar dan Firmansyah, 2001). Pola defekasi merupakan salah satu indikator kesehatan  anak. Pola defekasi meliputi frekuensi defekasi, konsistensi feses, dan warna feses. Pola defekasi terbentuk dan berubah sesuai dengan bertambahnya usia anak karena kematangan saluran cerna dan perubahan pola makan (Salwan, Kesumawati dan Bakri, 2010) .

Salah satu gangguan pola defekasi  yang dikhawatirkan orang tua adalah konstipasi. Aspek-aspek yang menentukan konstipasi adalah frekuensi defekasi jarang, konsistensi tinja yang keras, dan distress (Syarif dan Endyarni, 2004).  Batasan konstipasi menurut The North American Society of Gastroenterology and Nutrition (NASPGHAN) adalah keterlambatan atau kesulitan defekasi yang berlangsung selama dua pekan atau lebih sehingga menyebabkan distress. Distress meliputi mengedan pada saat defekasi, nyeri saat defekasi, defekasi berdarah, keciprit, dan gerakan menahan defekasi pada penderita (Afzal, Tighe dan Thomson, 2011).

Berdasarkan penyebab, konstipasi dibagi dua yaitu konstipasi fungsional dan konstipasi organik. Konsipasi fungsional dikenal juga sebagai kebiasaan atau konstipasi psikogenik (Berhman, Kliegman dan Arvin, 2000). Sebagian besar (90-95%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional, hanya 5-10% yang mempunyai penyebab organik (Firmansyah, 2012). Konstipasi fungsional dapat didiagnosis dengan kriteria ROME III yaitu, defekasi 2 kali atau kurang setiap minggu, riwayat susah defekasi atau nyeri saat defekasi, riwayat tinja dalam diameter yang besar sehingga dapat menyumbat jamban, retensi tinja yang berlebihan, teraba massa tinja yang berlebihan di rektum, keciprit sekurang-kurangnya satu kali setiap minggu. Konstipasi didiagnosis jika memenuhi dua dari kriteria-kriteria tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi konstipasi adalah asupan serat, asupan air, aktivitas fisik, stres dan perubahan aktivitas rutin, riwayat konstipasi terdahulu, konstipasi berulang, dan obat-obatan (Firmansyah, 2012). Kebiasaan menggunakan jamban duduk dibandingkan dengan posisi jongkok dilaporkan juga menjadi sumber masalah konstipasi. Posisi jongkok dianggap sebagai posisi fisiologis dan alamiah yang dapat mendukung proses defekasi. Posisi jongkok saat defekasi merupakan posisi tradisional masyarakat Asia (termasuk Jepang, Korea, dan Cina) dan Afrika. Posisi duduk saat defekasi mulai berkembang di negara barat pada saat revolusi industri dan perubahan ini juga diikuti oleh negara-negara berkembang di Asia dan Afrika akhir-akhir ini (Sakakibara dkk., 2010). Sudut anorektal berperan dalam mempermudah proses defekasi. Sudut anorektal pada posisi jongkok menjadi lebih lurus dibanding posisi duduk sehingga mempermudah proses defekasi. Posisi jongkok juga mengurangi periode waktu defekasi dan episode ketegangan pada proses defekasi (Sakakibara dkk., 2010).

Perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Indonesia juga berpengaruh terhadap kebiasaan penggunaan jamban. Masyarakat Indonesia yang biasa menggunakan jamban jongkok mulai berubah menggunakan jamban duduk. Penelitian terhadap 65 anak umur 12-15 tahun di Medan melaporkan konstipasi fungsional lebih sering terjadi pada anak yang menggunakan jamban duduk (12/20) dibanding anak yang menggunakan jamban jongkok (4/45) (Tanjung dkk., 2013). 

Lanjut baca di Konstipasi (2)
 silakkan dinantikan jika belum saya publikasikan  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar